Jika Taufiequrachman
Ruki (Mantan Ketua KPK
2003-2007) berasumsi bahwa "corruption by needs" (korupsi
karena kebutuhan), "corruption by greeds" (korupsi karena
keserakahan) atau "corruption by opportunities" (korupsi
karena kesempatan) maka saat ini saya berasumsi bahwa korupsi merupakan keserakahan
karena adanya kesempatan untuk memenuhi kebutuhan yang tak habis-habis.
Dewasa ini kita temukan bahwa
tindak korupsi di Indonesia telah mewabah keseluruh golongan masyarakat mulai
dari masyarakat golongan atas hingga masyarakat golongan bawah. Bahkan bukan
hanya lembaga keuangan negara namun lembaga pendidikan, lembaga keagamaan dan
lembaga peradilan di Indonesia pun juga tak lepas dari tindak korupsi.
Sejak tahun 2003 silam, KPK sebuah Institusi pemberantasan korupsi
Indonesia atas prestasi-prestasinya layak mendapatkan acungan jempol dan
apresiasi dari seluruh masyarakat Indonesia. Sebut saja penangkapan Jaksa Urip Tri Gunawan dan Artalyta Suryani dalam kaitan penyuapan kasus BLBI Syamsul Nursalim. Kemudian juga penangkapan Al Amin Nur Nasution dalam
kasus persetujuan pelepasan kawasan Hutan lindung
Tanjung Pantai Air Telang, Sumatera Selatan.
Hingga baru-baru ini penangkapan mantan anggota Badan Anggaran (Banggar) DPR
RI, Wa Ode Nurhayati, yang divonis enam tahun penjara dan denda 500 juta rupiah
subsider kurungan enam bulan. Politisi Partai Amanat Nasional (PAN) karena
terbukti bersalah dalam dua dakwaan sekaligus, yakni tindak pidana korupsi
(tipikor) dan tindak pidana pencucian uang (TPPU).
Melihat prestasi diatas tak dapat
dipungkiri bahwa di belakang KPK terdapat sosok peminpin-peminpin hebat. Maka seandainya
saya menjadi ketua KPK:
·
Hal pertama yang ingin saya
lakukan ketika menjadi ketua KPK tak lain menjadikan korupsi sebagai musuh bagi
diri saya sendiri (self development).
·
Menggunakan Total Quality
Control untuk mengontrol kualitas seluruh tata kehidupan di dalam KPK dan Non KPK dalam penanaman
kesadaran antikorupsi. Sehingga diperlukan 1. system control 2. orang yang
mengontrol 3. Pelaksanaan control terhadap nilai dan system yang ada di KPK dan
Non KPK dalam penanaman kesadaran antikorupsi. Melalui lapisan masyarakat
Indonesia yang secara garis besar mencakup tiga lapisan. Lapisan terkecil
adalah keluarga kemudian pendidikan dan terakhir lapisan agama. Maka dari itu saya
merasa perlu bilamana KPK melakukan kerjasama kepada tiga lapisan masyarakat
tersebut dalam pembinaan penanaman kesadaran antikorupsi.
Misal:
1. Dalam keluarga, menjadikan orang tua panutan dalam keluarga dalam
penanam kesadaran anti korupsi.
2. Dalam lembaga pendidikan, menjadikan pendidik panutan dan
ahli dalam menanamkan nilai-nilai kesadaran antikorupsi pada anak didiknya
sesuai umur dan tingkatan jenjang pendidikan masing masing anak didik untuk meningkatkan
moral bangsa.
3. Lembaga keagamaan, menjadikan lembaga-lembaga keagamaan
lembaga terbersih yang bebas korupsi sehingga menjadi panutan para pengikutnya dalam
mengajarkan kepada setiap penganutnya nilai-nilai keagamaan yang menjelaskan
tentang larangan terhadap tindak korupsi karena merupakan perbuatan dosa yang
harus dihindari dan dijauhi, serta agar terhindar dari ateisme praktis dimana
secara tak langsung para penganut agama dengan sendirinya tidak mengakui
keberadaan Tuhan melalui pengabaian hukum moral dalam diri mereka.
·
Menjadikan diri saya sebagai
public figure yang antikorupsi dan menciptakan public figure dalam masyarakat yang kelaknya dapat
dijadikan kader untuk pembasmian korupsi di Indonesia kedepan.
·
Memberikan hukuman yang seberat-beratnya
bagi para koruptor atas tindakan luar biasa (extra
ordinary crime) sesuai dengan wewenang yang dimiliki KPK.
Dengan ini saya berharap KPK menjadi institusi
terbersih terjujur dan teradil, sehingga menjadi ujung tombak martabat Negara
Indonesia yang anti korupsi.
1 komentar:
http://lombablogkpk.tempo.co/index/tanggal/201/Abdurrahman%20Mulia.html
Posting Komentar